MANOKWARI, SATUKANINDONESIA.Com – Amnesty Internasional Indonesia menyatakan, pelarangan dan penangkapan para pelajar yang berunjuk rasa untuk menolak program Makan Bergizi Gratis di Tanah Papua merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Amnesty International Indonesia menyeru polisi dan Aparatur Sipil Negara, untuk menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap pelajar yang berunjuk rasa menolak program Makan Bergizi Gratis atau MBG.
Hal itu dinyatakan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid melalui siaran pers yang diterima media ini, Rabu (19/2/2025).
Pernyataan itu disampaikan untuk menanggapi tindakan berlebihan polisi dan Aparatur Sipil Negara (ASN) terhadap aksi protes pelajar sekolah yang menolak program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sejumlah kota di Tanah Papua.
“Mencegat, apalagi menangkap siswa yang hendak melakukan aksi damai menolak program MBG tanpa alasan hukum yang dibenarkan, adalah bentuk pelanggaran HAM yang sangat nyata yang dipertontonkan oleh kepolisian di Tanah Papua. Penggunaan tembakan peringatan serta gas air mata dalam merespons aksi pelajar yang sedang berdemonstrasi jelas berlebihan,”kata Usman.
Dalam insiden di kabupaten Nabire, Papua Tengah, aparat kepolisian mengadang puluhan pelajar yang hendak bergerak menuju lokasi demonstrasi dan membawa mereka dengan truk ke kantor polisi
Beredar pula video viral yang memperlihatkan seorang ASN berseragam coklat menendang tubuh dan menginjak kaki seorang pelajar sambil menghardik dengan ucapan yang merendahkan martabat anak saat para pelajar dikumpulkan di kantor polisi.
“Kamu ini masih anak-anak kecil, masih ingusan,” kata ASN itu sambil memegang bagian kepala siswa tersebut.
Terlihat beberapa ASN lain dan polisi, yang berdiri di depan para pelajar yang duduk bersila di lantai, hanya menyaksikan pemandangan itu.
Laporan media menyebutkan, ASN yang terlihat menendang dan menghardik pelajar tersebut adalah Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Nabire.
Sementara itu, di Kabupaten Yalimo, Papua Pegunungan, polisi dilaporkan melepaskan 12 kali tembakan peluru dan gas air mata saat menghadapi aksi protes pelajar yang menolak program MBG.
Di Kota Jayapura, Papua, sebanyak 15 pelajar SMP dan SMA sempat ditangkap saat hendak mengikuti aksi protes dan dipulangkan setelah diperiksa polisi di Mapolsek Heram.
Juga muncul laporan dugaan kekerasan aparat atas pelajar saat menangkap peserta aksi. Di Kota Wamena, Papua Pegunungan, aparat kepolisian menghadapi demonstrasi pelajar dengan menembakkan gas air mata.
Usman mendesak, kepolisian mengusut apakah tindakan oleh anggotanya tersebut sudah sesuai aturan. Ia menyatakan mengeluarkan tembakan peringatan dan menembakkan gas air mata secara serampangan merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM oleh aparat.
Ia menegaskan, polisi harus memastikan bahwa penggunaan kekuatan yang berlebihan bukanlah solusi dalam merespons aksi protes di Papua. Apalagi para demonstran itu adalah pelajar sekolah, yang secara damai menyampaikan aspirasi mereka menolak program MBG.
Usman juga mengkritik, seorang ASN yang menendang seorang siswa sekolah. Ironisnya aksi kekerasan terhadap anak tersebut terjadi di depan mata polisi yang seharusnya melindungi siswa Papua dari segala bentuk ancaman.
Sikap anti-kritik yang dinormalkan lewat penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat, dan ASN Papua harus segera dihentikan.
Polisi harus dengan segera melakukan investigasi yang mendalam terhadap anggotanya yang menggunakan kekuatan yang berlebihan dalam merespons aksi protes siswa di Kabupaten Nabire di Provinsi Papua Tengah, Kabupaten Yalimo dan Jayawijaya di Provinsi Papua Pegunungan, serta Kabupaten Jayapura di Provinsi Papua.
Kepolisian juga harus memproses hukum ASN yang tertangkap kamera menginjak seorang siswa, karena tindakan tersebut melanggar Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan Anak.
Kepolisian juga harus, memproses anggotanya yang telah lalai membiarkan terjadinya aksi kekerasan yang dilakukan ASN terhadap pelajar yang berunjukrasa.
Amnesty International Indonesia menyatakan, intimidasi dan kekerasan terhadap pelajar yang berunjuk rasa merupakan bagian dari taktik yang digunakan pemerintah Indonesia dalam meredam suara kritis terkait program MBG di berbagai daerah lainnya di Indonesia.
“Negara harus terbuka menerima kritik dari siswa bukan malah meredamnya,”tegas Amnesty.
Amnesty menegaskan, anak-anak pun memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dan melakukan protes damai. Anak-anak yang menyuarakan pendapatnya secara damai justru harus dilindungi, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan Konvensi Hak-Hak Anak. Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Right of the Child atau CRC) menjamin hak anak untuk berekspresi, termasuk dalam bentuk demonstrasi damai di jalan.
“Negara juga harus menjamin keamanan dan perlindungan bagi anak-anak yang menyuarakan pendapatnya secara damai, sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak,”demikian keterangan pers Amnesty. [GRW]