
MANOKWARI, SATUKANINDONESIA.Com – Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay mengatakan, kepemilikan tanah di Papua adalah komunal dan kepemilikan marga sangat jelas.
Pasalnya, masyarakat sejak dahulu mengenal tanah-tanah adat sesuai dengan batas yang diwariskan oleh leluhurnya, dan masyarakat adat berhak mengelola sumber daya alam (SDA) nya sendiri.
“Tanah atau yang masyarakat sebut sebagai patok alam seperti batu, kali, situs, pohon, dan lainnya. Tidak boleh ada orang yang sekarang datang lalu bilang ini-itu. Karena, sebagai masyarakat adat kita kenal dari dahulu kala sampai sekarang ini, namun dalam pembahasan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) atau pemberian sertifikat oleh pemerintah tidak melibatkan masyarakat adat,”katanya melalui siaran pers yang diterima media ini, Senin (13/01/2025).
Gobay mengingatkan, Negara Republik Indonesia melalui program sertifikat tanah justru dapat mengakibatkan konflik tanah, di Tanah Papua.
“Kita telah bergabung dengan teman-teman dari luar Papua, mereka juga punya sertifikat tanah, itu akan bermasalah, karena masyarakat adat berpegang pada patokan alam, sementara warga luar Papua berpatokan pada sertifikat,”ujarnya.
Dicontohkannya, persoalan yang terjadi terkait pelepasan tanah. Ada warga yang selalu menjual tanah adat tanapa ada kesepakatan dalam keluarga. Padahal mereka juga tahu tentang hak-hak kepemilikan tanah adat itu.
“Kembali ke masyarakat adat, masyarakat adat yang ‘muka uang’ atau masyarakat yang menjual tanah adat, mereka tahu batas-batas wilayah Adat atau tanah, tetapi kadang mereka juga menjual tanah-tanah adat, belakangan baru mereka tahu,”katanya.
Menurut Gobay, di Papua sistem kepemilikan tanah itu berbeda-beda, baik di wilayah pegunungan, pesisir, maupun dataran rendah sebagaimana dibagi dalam empat pola kepemimpinan oleh Dr Johs Mansoben.
Dasar warisan berdasarkan marga itu, lanjut Gobay, maka hak waris itu otomatis turun kepada anak-cucu.
“Kita masih tetap pegang marga, dan kita mau turunkan warisan itu ke anak-cucu yang akan meneruskan kita punya marga,”katanya.
Aturan internasional
Terkait kepemilikan sumber daya alam (SDA), menurut Gobai yang juga diakui secara internasional diatur dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP).
Di Indonesia aturan ini juga diadopsi dalam Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945 yang mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat.
Untuk Papua aturan ini juga ada di dalam Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang mengatur pengelolaan sumber daya alam dan kebudayaan masyarakat adat di Papua.
Berlandaskan peraturan tersebut dan peraturan lainnya masyarakat adat punya hak untuk menikmati hak asasi manusia, politik, sosial, hak ekonomi, hak budaya, dan hak beragama secara tradisional.
“Jadi kalau nanti kita lihat Bunani atau salah satu kelompok di Suku Mee yang masih berpegang teguh pada adat dan kebudayaan orang Papua, itu dong hak. Saya tidak paksa teman-teman untuk pindah ke sana. Tapi kalau yang sudah beragama Katolik, Kristen, itu urusan. Tapi kalau mereka yang masih mempertahankan Bunani, itu dong hak secara tradisional diakui secara hukum internasional,”katanya.
Terkait cikal bakal eksploitasi tanah di Papua, kata Gobay, maka memiliki sejarah panjang sejak zaman Kerajaan Ternate, Tidore. Kemudian Untea, New York Agrement, Perjanjian Kontrak Karya PT Freeport Indonesia, Pepera, serta pencaplokan tanah adat pada zaman Orde Baru hingga zaman Otsus.
“Zaman Kerajaan Tidore di Kepulauan Raja Ampat di mana mereka menerapkan sistem dan mengubah marga-marga warga lokal setempat hingga sekarang kita kenal Marga Mayor dan lainnya. Kemudian pada masa United Temporary Authority (Untea), Soekarno atas nama Geopolitik, kekayaan alam dan tanah Papua dicaplok tanpa melibatkan orang Papua,”aku Emanuel Gobay, S.H.,MH.
Pada masa Perjanjian New York Agreement, lanjut Gobay, tanpa melibatkan orang asli Papua dan Indonesia-Amerika memutuskan tanpa melibatkan orang Papua untuk melaksanakan penentuan awal pendapat ini rakyua rakyat (Pepera).
“Setelah Belanda mendapatkan tekanan dari Amerika, kemudian Belanda menyerahkan Papua ke Indonesia, kemudian Soekarno melakukan penandatanganan kontrak karya PT Freeport bersama Amerika tanpa melibatkan orang-orang asli Papua pada 1967 dan Pepera dilakukan 1969, proses peralihan Papua ini demi kepentingan pertambangan emas di Tembagapura,”jelasnya.
Dampak sertifikat
Menurut Gobay, program pemberian sertifikat tanah oleh pemerintah justru berpotensi menguatnya pemerintah menciptakan konflik agraria. Hal itu, tambahnya, sudah terjadi di Nabire beberapa kali dan terjadinya praktik palang-memalang kantor di beberapa tempat di Papua.
“Harusnya pemerintah melakukan kajian-kajian mempertimbangkan hak-hak adat yang masuk di akal agar ke depannya tidak terjadi kesalahpahaman antara warga pribumi dan teman-teman luar Papua yang datang ke Papua,”pungkasnya. [GRW]











 
			

