
BOVEN DIGOEL, satukanindonesia.com – Bertahun-tahun masyarakat adat Suku Awyu resah karena izin perkebunan kelapa sawit yang tumpang tindih dengan tanah ulayatnya. Sejak September 2016, mereka ‘melawan’ pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit itu dengan menancapkan lebih dari 1.400 salib merah.
Salib merah itu menjadi simbol perlawanan terhadap pembabat hutan, sekaligus bentuk kepasrahan masyarakat adat Suku Awyu kepada Tuhan dan para leluhur mereka.
11 Juni 2025 pagi itu, warga berkumpul di hutan Dusun Kowo II, kampung Sadar, distrik Fofi, kabupaten Boven Digoel, provinsi Papua Selatan. Sehari sebelumnya, lokasi seluas 20 x 20 meter persegi itu sudah dibersihkan oleh warga dusun itu.
Jalan setapak dari Sungai Mappi menuju lokasi itu juga telah dibersihkan, demi memudahkan perwakilan warga kampung tetangga seperti kampung Yareh, Fofi, dan Fenaha yang datang menggunakan perahu motor katinting.
Kedatangan para anggota Suku Awyu itu disambut tarian yang ditarikan warga kampung Sadar, diiringi kidung merdu yang membuat para tamu segera ikut bernyanyi dan berbaur. Para tamu itu datang demi menjadi saksi penancapan salib merah di sana.
Salib merah yang akan ditancapkan di hutan Dusun Kowo II itu terbuat dari dua balok kayu berukuran 20 x 20 centimeter. Salib kayu setinggi 12 meter telah dicat warna merah yang mencolok, ciri khas salib merah.
Salah satu motor gerakan penancapan salib merah, Hendrikus Woro menyebut, salib merah sebagai simbol kemenangan atas maut menurut ajaran Kristen. Lelaki yang lahir pada 30 Juni 1984 itu menjelaskan tiang salib setinggi 12 meter merupakan simbol 12 suku bangsa sekaligus 12 murid Yesus. Kayu palang sepanjang 7 meter yang menandakan 7 wilayah ada di Tanah Papua. Ada juga simbol lain yang terkait dengan jati diri Suku Awyu secara turun temurun.

Di lokasi penancapan salib merah itu sudah berdiri dua pondok yang digunakan untuk menaruh bahan makanan yang dibawa warga kampung Sadar dari rumah mereka. Sambil menunggu kedatangan para tamu yang lain, sejumlah lelaki menggali lubang tempat penancapan salib merah. Lubang itu digali tepat di depan sebuah menara kayu yang baru dibangun di sana. Menara itu bakal menjadi tumpuan sementara saat salib merah ditancapkan.
Kidung merdu terus terdengar lirih. Kidung itu mengiringi tarian serta rapatan kaum perempuan, anak-anak, dan sejumlah lelaki yang terpencar dalam beberapa kelompok kecil di sana.
Di kedua pondok, sejumlah perempuan menyiapkan makanan dan minuman bagi semua orang di sana. Beragam sajian tradisional seperti sagu, ulat sagu, sayur-sayuran, ubi, betatas, kopi, dan teh panas, ada di sana.
Beberapa perempuan membuat sagu gulung berisi ulat sagu, kudapan yang digemari di sana. Mereka menabur sagu yang sudah dihaluskan ke atas ulat sagu, membungkusnya dengan daun sagu muda, dan membakarnya.
Menu makanan lainnya adalah sagu kuali—sajian berbahan sagu yang disaring halus seperti tepung dan disangrai dengan serbuk kelapa di dalam kuali di atas tungku. Ubi, singkong, dan betatas yang telah dibakar juga disuguhkan bersama sayuran, daging tikus tanah, dan daging babi asar. Sekitar pukul 12.30 WP, semua warga berdoa, lalu bersantap bersama.
Setelah makan siang usai, sejumlah pria bergegas untuk menyiapkan beberapa tali rotan yang lantas diikatkan ke kayu salib merah yang kakinya telah berada di atas lubang yang disiapkan. Seutas tali ditarik empat lelaki yang berdiri atas menara. Kedua tali lainnya merentang ke kiri-kanan kayu salib, masing-masing ditarik oleh tiga dan empat orang lelaki. Sejumlah delapan lelaki lainnya bersiap memikul kayu salib berwarna merah itu.
Pukul 15.00 WP, seorang lelaki yang dituakan berdiri di depan lubang tempat salib akan ditancapkan. Ia membacakan doa, memulai ritual untuk meminta izin kepada alam semesta untuk menancapkan salib merah. Saat ritual itu dimulai dan doa dilantunkan, semua orang di hutan dusun itu berdiri dengan kepala tertunduk, menyimak lantunan doa.
Setelah doa selesai dilantunkan, pekikan keras terdengar, diikuti nyanyian para warga. Salib merah mulai diangkat dan digeser menuju lubang penancapan. Para lelaki merentangkan tali di kiri-kanan kayu salib, para lelaki di atas menara menarik tiang salib itu. Perlahan, salib merah itu menegak, dan kaki kayu salib itu masuk ke lubang yang disiapkan. Nyanyian doa terus dilantunkan mengiringi penancapan salib merah itu, juga tarian para perempuan dan anak-anak.
Setelah salib merah tertanam dan berdiri tegak, sebuah papan berwarna merah juga ditanam di sana. Di papan itu, tertulis “Tanah milik Somu Sonu Subang”, frasa dalam bahasa Awyu yang berarti “wujud Ilahi Yang Tertinggi”. Di bawahnya, tertulis kalimat “Kawasan Bersejarah Tanah Adat Awyu, Putusan MK No 35/PUU-X/2012”.
Setelah penancapan salib merah dan papan pengumuman itu, Hendrikus Woro berdiri di kerumunan para warga. Ia menyampaikan sejumlah kabar. Ia juga memotivasi masyarakat adat Suku Awyu untuk tak lelah mempertahankan tanah ulayat mereka dari pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.
“Papua,” pekik Hendrikus.
“Bukan tanah kosong!” sambut semua warga yang menjadi saksi penancapan salib merah itu, “
“Masyarakat adat,” pekik Hendrikus.
“Kami masih ada,” jawab semua warga di sana.
“Tanah Adat,” pekik Hendrikus lagi.
“Bukan tanah negara,” jawab semua warga.
“Perusahaan,” pekik Hendrikus lagi.
“Tolak! Tolak! Tolak!” sambut semua warga.
Penancapan salib merah itu menandai sasi atau larangan adat yang melarang semua orang melakukan aktivitas apa pun di kawasan yang ditutup dengan sasi. Sasi adalah kearifan lokal yang dikenal oleh banyak suku di Nusantara, secara tradisional dilakukan untuk menjamin kelangsungan suksesi alami keanekaragaman hayati di sebuah kawasan. Caranya, dengan menutup sebuah kawasan tertentu, dan melarang pengambilan hasil alam di sana untuk jangka waktu tertentu.
Sasi adalah istilah yang dikenal luas di Maluku, dan di Tanah Papua ada banyak sebutan untuk kearifan lokal setempat yang serupa dengan sasi. Tradisi sasi adalah kearifan lokal untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dari eksploitasi alam yang berlebihan oleh masyarakat adat setempat.
Namun, di era ini bukanlah eksploitasi alam oleh masyarakat adat yang mengancam Tanah Papua. Eksploitasi alam yang mengancam Tanah Papua saat ini adalah pembukaan hutan secara besar-besaran demi membuka tambang, atau membuka perkebunan kelapa sawit.
Penancapan salib merah oleh masyarakat adat Suku Awyu menyerupai tradisi tutup sasi, namun ia menjadi simbol perlawanan terhadap berbagai izin membabat hutan.
“Kami hanya berharap kepada Tuhan dan leluhur di atas tanah ini,” ujar Hendrikus usai penancapan salib merah di Kampung Sadar pada 11 Juni lalu.
Bagi masyarakat adat Suku Awyu, tanah dan hutan mereka adalah ibu yang memberikan kehidupan. Bagi mereka, kehilangan hutan dan tanah berarti kehilangan penghidupan, bahkan kehilangan identitas dan harga diri.
Masyarakat Suku Awyu yang mendiami wilayah Fofi terdiri dari 9 klan, yakni Yaliba, Wemki, Haime, Syahae, Fovi, Busahang, Nawisi, isahae, Gahabang adalah pemilik hak ulayat di sepanjang Sungai Mappi di Boven Digoel, hingga di berbagai kampung yang berbatasan dengan kabupaten Mappi.
“Hutan tempat kami mencari makan, tempat berburu babi, tikus tanah, tetapi juga tempat menokok sagu dan mencari sayur-sayuran untuk dimakan setiap hari,”ujar Hendrikus Woro.
Norenti Bini, anak adat Suku Awyu yang pernah sembilan tahun menjadi buruk harian perusahaan kelapa sawit di Distrik Ngguti, Kabupaten Merauke, menilai kehadiran perusahaan sawit di tanah leluhurnya tidak akan membawa dampak positif bagi masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat.
“Waktu itu, upah saya Rp17 ribu per hari, diakumulasi selama 26 hari setiap bulannya,”ujarnya.
Awalnya, Bini bekerja di perusahaan sawit karena ingin mengubah taraf hidupnya agar menjadi lebih baik. Ia punya mimpi seperti impian setiap pekerja di perusahaan swasta, ingin diterima menjadi karyawan tetap.
Ia merasa banyak aturan yang tidak masuk akal di perusahaan sawit tempatnya bekerja. Perusahaan itu adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah lama berusaha di kabupaten Merauke.
“Setiap hari, dalam seminggu harus bekerja mengumpulkan hasil kelapa sawit, tanpa ada waktu libur di hari Minggu. Selama tujuh tahun bekerja dengan rutin, lalu dua tahun terakhir semangat kerja saya mulai kendor. Akhirnya saya kembali ke kampung halaman hingga saat ini, tidak kembali lagi bekerja di perusahaan,”katanya.
Sejak dua tahun yang lalu, Bini justru aktif dalam gerakan kemanusiaan yang disuarakan masyarakat adat di kampungnya untuk menolak perampasan tanah ulayat Suku Awyu untuk perkebunan kelapa sawit. Ia gencar mengingatkan anak adat Suku Awyu agar jangan sekali-kali menerima tawaran perusahaan untuk masuk dan mengelola hutan ulayat mereka.
Norenti Bini khawatir masuknya perusahaan perkebunan kelapa sawit ke tanah ulayat Suku Awyu bakal berdampak negatif bagi lingkungan serta keberlangsungan potensi sumber daya alam yang yang ada.
“Hutan akan rusak, lingkungan tercemar. Kami yang hidup di atas tanahnya juga akan terganggu soal kesehatan,”ujarnya.
Kegelisahan yang dituturkan Hendrikus Woro dan Norenti Bini itu bukanlah kekhawatiran satu-dua orang anak adat Suku Awyu. Kegelisahan serupa telah menggumuli masyarakat adat Suku Awyu sejak 2015, ketika mereka dikejutkan oleh munculkan berbagai izin bagi korporasi untuk membabat hutan ulayat mereka.
Data Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menunjukkan sejak 2011 hingga 2017 telah terbit Izin Lingkungan yang diberikan kepada 18 perusahaan kelapa sawit berbeda, dengan total luasan area izin mencapai 566.895 hektare. Di antara mereka, ada 15 perusahaan yang telah mengantongi Izin Usaha Perkebunan, dengan luasan konsesi izin seluas 474.019 hektare.
Pada pertengahan 2015 para tokoh adat Suku Awyu dari berbagai dusun dan kampung bertemu di Kampung Bomakia. Mereka membahas pengelolaan potensi sumber daya alam serta kelangsungan hidup manusia Suku Awyu.
Pertemuan di kampung Bomakia itu menunjuk Hendrikus Woro sebagai koordinator umum pergerakan tim advokasi dari setiap dusun dan kampung . Mereka disatukan dalam Gerakan Cinta Masyarakat Adat Awyu Bersatu.
Awalnya, Hendrikus kesulitan menjalankan tugas yang diamanahkan hasil pertemuan di Kampung Bomakia. Ia akhirnya berkomunikasi dengan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Agung Merauke, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti Pusaka dan Walhi.
Konsolidasi dan penguatan jaringan yang dilakukan Hendrikus berpacu dengan perusahaan pemegang izin yang mulai membabat dan membuka hutan ulayat Suku Awyu. Secara diam-diam, korporasi mulai masuk ke wilayah adat Suku Awyu, dan membongkar hutan ulayat mereka.
Pembukaan hutan itu kerap kali dilakukan tanpa meminta persetujuan dari pemilik hak ulayat, dan tak jarang melibatkan aparat keamanan. Akhirnya, penancapan salib merah dipilih menjadi simbol gerakan perlawanan itu.
“Saya lakukan konsolidasi serta komunikasi kepada seluruh masyarakat dan menyiapkan material fisik untuk penancapan salib merah secara mandiri pada 1 hingga 14 september 2016. Itu awal pergerakan kami,”ujar Hendrikus.
Sejak saat itu, penancapan salib merah dilakukan di berbagai dusun dan kampung masyarakat adat Suku Awyu yang tersebar di Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Kini, ada sekitar 1.400 salib merah yang tertancap di wilayah Paswei, Fenaha, Ampera, Fofi, Kowo, Yareh, muara Sungai Digoel, Hello, Memes, Asiki, dan sepanjang Sungai Mappi.
Menurut Hendrikus, ribuan salib merah itu bisa tertancap di puluhan kampung dan distrik di Kabupaten Boven Digoel maupun Kabupaten Mappi karena konsolidasi gerakan yang dilakukan terus menerus. Dalam Gerakan Cinta Masyarakat Adat Awyu Bersatu, masyarakat adat Suku Awyu terus menggemakan perlawanan dengan peristiwa penancapan salib merah. Dalam tubuh gerakan yang sama, konsolidasi dibangun meluas, melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Sejak 2017 hingga 2019 berbagai upaya terus dilakukan dengan berkoordinasi bersama sejumlah pihak, pemerintah, gereja, dan organisasi masyarakat sipil yang fokus melakukan advokasi lingkungan dan masyarakat adat.
Gerakan itu bahkan mampu melakukan advokasi litigasi, di mana Hendrikus Woro mewakili masyarakat adat Suku Awyu mengajukan gugatan Tata Usaha Negara di PTUN Jayapura pada 2023.
Perkara itu terkait izin kelayakan Linkungan yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Papua untuk perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL).
Izin yang digugat masyarakat adat Suku Awyu itu mencakup rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 36.096,4 hektare di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel. Masyarakat adat Suku Awyu menggugat penerbitan izin itu, karena izin itu diterbitkan tanpa sepengetahuan mereka.
Gugatan Tata Usaha Negara itu dimotori Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua selaku kuasa hukum, dan mendapat dukungan dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat serta Walhi selaku penggungat intervensi. Perkara yang berlanjut ke tingkat banding dan kasasi di Mahkamah Agung itu diliput oleh berbagai media di dalam dan luar negeri, serta mendapat dukungan masyarakat luas.
Dukungan publik itu terlihat dari petisi dukungan bagi Suku Awyu yang ditandatangani 253.823 warga dari seluruh Indonesia. Akan tetapi, Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan Suku Awyu.
Hendrikus Woro mempertanyakan keputusan itu, menilainya tak sejalan dengan jaminan hak konstitusional masyarakat adat dalam Undang Undang Dasar 1945. Pasal 18B Undang Undang Dasar 1945 menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat serta hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang undang.”
“Undang Undang Dasar 1945 Pasal 18B yang bilang seperti itu. Jadi kalau usulan kami ditolak oleh lembaga hukum tertinggi di negara ini, sama saja dengan negara yang melanggar aturannya sendiri,”kata Hendrikus.
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante menyebut, gugatan Tata Usaha Negara yang dilakukan Suku Awyu itu juga tak membendung pemerintah daerah untuk menerbitkan izin baru bagi perusahaan kelapa sawit.
“Kami menemukan informasi penerbitan beberapa izin baru pada 2024, sebagian di antaranya diterbitkan di atas konsesi izin lama yang kedaluwarsa, dicabut, atau mengalami masalah hukum lainnya. Penerbitan izin yang baru itu tetap mengabaikan pemenuhan hak masyarakat adat,”kata Franky.
Ia tengah melacak informasi penerbitan izin baru untuk delapan perkebunan kelapa sawit, dengan total luasan areal konsesi hingga 182.597,21 hektare di kabupaten Boven Digoel.
“Resistensi masyarakat adat atas penerbitan izin baru itu tinggi, karena izin-izin itu mengancam hak, keberadaan, dan mata pencaharian masyarakat adat,”kata Frangky.
Itulah yang dituturkan Julia Woro. Menurutnya, pihak perusahaan yang mengantongi izin perkebunan kelapa sawit di tanah ulayat Suku Awyu mulai menggunakan intimidasi untuk merebut tanah dan hutan Suku Awyu.
Perusahaan bahkan menggunakan fasilitas dan alat negara, termasuk aparat keamanan, untuk menekan para kepala suku dan kepala kampung agar menjual tanah dan hutan kepada mereka perusahaan.
Julia menyebut cara seperti itu mengabaikan aturan yang mewajibkan tentara dan polisi untuk melindungi warga negara, termasuk masyarakat adat Suku Awyu.
“Beberapa hari lalu, Kepala Dusun Kowo II dipanggil Bintara Pembina Desa dan Kepola Kepolisian Sektor Fofi,”ujar Julia mencontohkan.
Bagi Julia dan kaum perempuan yang lainnya, jika perusahaan mengambil alih tanah ulayat Suku Awyu untuk dijadikan kebun kelapa sawit, hal itu serupa dengan pembunuhan massal secara perlahan.
“Sudah pasti kami kehilangan segalanya. Hutan dan tanah ini ibarat rumah, kami sebut sebagai ibu yang memberikan kehidupan sepanjang masa. Hutan adalah rekening abadi kami. Di dalam hutan, apa saja yang kami perlukan selalu tersedia. Oleh sebab itu, kami tidak akan melepaskan apa yang sudah Tuhan berikan kepada kami,”kata Juli.
Seperti Julia Woro, Hendrikus Woro pun tak mau patah arang melihat undang-undang, peraturan, dan hukum yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat adat. Bersama-sama masyarakat adat Suku Awyu, mereka menjawab situasi itu dengan melanjutkan gerakan penancapan salib merah di tanah adat Suku Awyu.
“Ketika semua upaya dan usaha yang dilakukan tidak menemui jawaban yang pasti, salib merah tetap akan kami tancapkan, sampai kiamat. Ribuan salib merah yang ditancap sejak 2016, sebagian tiangnya sudah keropos, tetapi masih tetap berdiri, tersebar di 21 kampung. 18 kampung ada di wilayah kabupaten Boven Digoel, dan tiga kampung ada di kabupaten Mappi. Akan kami tancap salib merah sampai kiamat. Setelah kami, maka generasi berikutnya akan melanjutkannya,”ujar Hendrikus.
Pada 8 Juni 2025, masyarakat adat Suku Awyu di Dusun Kowo II menancap lima salib merah di lima tempat terpisah di kampungnya. Pada 11 Juni 2025, mereka menancapkan salib merah di hutan dusun itu. “Perjuangan ini sampai mati, sampai habis,”kata Julia Woro tegas. [**/GRW]