JAYAPURA, SATUKANINDONESIA.COm – Presiden Prabowo Subianto melalui Menteri Hak Asasi Manusia (Men-HAM) Republik Indonesia diminta hentikan dan segara evaluasi kebijakan pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam proyek strategis nasional (PNS) di tanah Papua.
Pasalnya, keterlibatan TNI dalam PSN tersebut dinilai bakal melahirkan konflik horizontal dan pelanggaran HAM Berat terhadap masyarakat Adat Papua.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay, S.H.,MH mengatakan, kebijakan pelibatan TNI pada program strategis nasional (PSN) Pangan di Merauke harus di hentikan.
“Segera hentikan proyek strategis nasional pangan di Merauke demi melindungi masyarakat Adat Malind dari ancaman dugaan kejahatan genosida,”kata Gobay kepada satukanindonesia.com, Kamis (14/11/2024).
Pada prinsipnya, ia menegaskan, pengembangan PSN Pangan di Merauke sampai saat ini masih menuai proses dari masyarakat Adat Marind khususnya Marga Gebze Moyuend, Gebze Dinaulik, Kwipalo dan beberapa marga lainnya tidak melepaskan tanah adat.
Sehingga jelas tindakan pengembangan PSN Pangan di Merauke melanggar Hak Masyarakat Adat Papua yang dijamin pada Pasal 18b ayat (2), Undang Undang dasar 1945 junto Pasal 6, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Selain itu, Gobay mengemukakan, PSN Pangan di Merauke belum memiliki Analis Mengenai Dampak Linkungan (AMDAL) dan Ijin Lingkungan, padahal secara tegas dielaskan bahwa Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal sebagaimana diatur pada Pasal 22 ayat (1), Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengolahan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
Terlepas dari itu, ia menyebutkan, kegiatan PSN di Merauke juga telah berdampak pada eksistensi Taman Nasional, Suaka Marga Satwa dan Cagar Alam beserta wilayahnya di Kabupaten Merauke sebanyak 7 (tujuh) buah yang telah dijamin Pasal 33, Peraturan Daerah Propinsi Papua Nomor 23 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Papua Tahun 2013 – 2033 dan Pasal 21 ayat (2), Peraturan Daerah Kabupaten Merauke Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke Tahun 2010 – 2030.
Tak Hanya itu, kata dia, melalui PSN Pangan di Merauke yang dilakukan diatas Tanah dan Hutan Adat Marga dalam Wilayah Adat Marind ini juga berpotensi Konflik Horisontal antara Marga.
Sebab, menurutnya, secara turun temurun Masyarakat Adat Marind telah hidup, tumbuh dan berkembang diatas wilayah adat marga masing-masing tanpa melakukan pencaplokan tanah adat marga antara sesama.
Dengan diambil alihnya Tanah dan Hutan Adat milik beberapa Marga oleh Negara melalui pemerintah dengan pendekatan PSN Pangan di Merauke tentunya akan menghilangkan Tanah dan Hutan Adat beberapa Marga dan tentunya Marga yang kehilangan Hutan dan Tanah Adat Marga yang selama ini telah memenuhi kebutuhan papan (rumah), kebutuhan pangan (makanan) dan kebutuhan sandang (pakaian) selanjutnya mereka akan hidup tanpa Tana dan Hutan Adat yang tentunya akan memicu konflik antara sesame Masyarakat adat Malind karena untuk bertahan hidup mereka akan memasuki Tanah dan Hutan adat milik marga lainnya.
Program Strategis Nasional Pangan di Merauke yang jelas melanggar Hak Masyarakat Malind dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia serta akan memicu konflik horizontal antara sesame Masyarakat Adat Marind,.
Pada tanggal 10 November 2024, diselenggarakan Upacara Penerimaan Yonif Teritorial Pembangunan 801/NAY, 803/WNJ, 803/KYK, Komando Pelaksana Operasi Resort Militer 174/ATW sebanyak 2 Ribu pasukan TNI yang tiba di Merauke. Sesuai dengan keterangan dalam video berjudul 2 Ribu Prajurit TNI Tiba di Papua Selatan untuk mendukung sejuta lahan yang ditayangkan oleh canal Yotube salah satu media nasional.
Dalam upacar tersebut, Brigjen TNI Andy Setiawan selaku Danrem 174, Animti sempat menyatakan beberapa tugas yang akan dilakukan oleh 2 ribu Prajurit akan bertugas.
“Masyarakat-masyarakat khususnya di Papua Selatan yang saat ini mungkin masih kegiatan pertaniannya berpindah-pindah, masih dengan cara berburu itulah nanti mereka akan memberikan pendampingan dan penyuluhan dengan Masyarakat untuk mengiatkan khususnya terkait dengan ketahanan pangan di Papua Selatan,”kata Dandrem 174 Animti.
Atas dasar itu, dengan hadirnya 2 ribu Prajurit TNI di Merauke dengan tujuan untuk mendukung sejuta lahan diatas. Sambungnya, yang menjadi pertanyaan adalah apakah akan menambah deretan panjang pelanggaran Hak Masyarakat Adat Marind, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya ataukan tidak.
Sebab, kehadiran 2 ribu prajurid TNI bukan hanya untuk mendukung PSN saja, namun tetap akan menjalankan tugas pokoknya sebagai TNI.
Dengan melihat arahan Dandrem 174 Animti terkait 2 ribu pasukan TNI akan bertugas untuk mengubah corak sosial Masyarakat Adat Animha, yang sudah secara turun temurun bermata pencaharian ‘Berburu dan Meramu’ menjadi ‘Petani’ sudah dapat menunjukan fakta dugaan terjadinya pelanggaran Hak Masyarakat Adat Marind.
‘Berburuh dan Meramu’ adalah mata pencaharian secara tradisional Masyarakat Adat Marind yang telah digunakan sejak nenek moyang dan masih terus diwariskan sampai saat ini untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan (makan) sehingga jika diubah tentunya akan melanggar Hak Masyarakat Adat Marind.
Untuk diketahui bahwa Upaya mengubah Masyarakat Adat Marind yang bermata pencaharian ‘berburuh dan meramu’ menjadi ‘Petan’ telah diupayakan sejak masa Pemerintah Belanda di Papua dengan mengembangkan Pertanian Sawa di Kurik (Merauke) namun hal itu tidak mampu mengubah Masyarakat Adat Marind menjadi Petani.
Selanjutnya, Pada masa Pemerintah Indonesia di era Orde Baru melalui Program Petani Inti Rakyat Transmigrasi (PIR Trans) juga tidak mempu mengubah Masyarakat Adat Marind menjadi Petani dan dilanjutkan dengan pemberian HGU kepada Perusahaan untuk mengembangkan Perkebunan Kelapa Sawit namun belum mampu mengubah Masyarakat Adat Marind dari ‘Berburuh dan Meramu’ menjadi ‘Petani’.
Justru melalui pendekatan itu. Kata Gobay, telah memarjinalkan Masyarakat Adat Marind diatas Tanah Adatnya, sementara para Petani yang didatangkan dari luar Pulau Papua semakin kaya raya.
Sedangkan, Masyarakat Adat Marind hidup seadanya dengan bergantung kepada Hutan Adat milik marga nya masing-masing, dengan mengunakan tradisi berburu dan meramu sesuai peninggalan nenek moyangnya.
Semua fakta itu, menunjukan bahwa Masyarakat Adat Marind menginginkan Hidup dengan mengunakan corak hidup ‘berburu dan Meramu’ dari hutan adat milik marga mereka masing-masing bukan bercorak ‘Petani’ sebagaimana yang di impikan Pemerintah Indonesia melalui PSN Pangan di Merauke yang akan diback-up oleh anggota TNI yang berjumlah 2 ribu orang telah tiba di Merauke pada tanggal 10 November 2024 kemarin.
Melihat fakta tindakan penghancuran hutan adat milik Masyarakat Adat Malind oleh Perusahaan pengembangan PSN Pangan di Merauke, menurutnya LBH Papua, hal itu telah menghilangkan tempat ‘berburu dan meramu’ hasil hutan oleh Masyarakat Adat Marind.
Fakta 2 ribu Pasukan TNI yang akan bertugas untuk mengubah corak sosial Masyarakat Adat Malind yang sudah secara turun temurun bermata pencaharian ‘Berburu dan Meramu’ menjadi ‘Petani’ tersebut yang dikhawatirkan adalah akan melahirkan dugaan tindakan Pelanggaran HAM Berat dalam bentuk Kejahatan Genosida sebagaimana diatur pada Pasal 7 huruf a, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Dugaan tindakan Pelanggaran HAM Berat dalam bentuk Kejahatan Genosida dapat disebutkan berdasarkan pada pengertian ‘Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama.
Dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain’, sebagaimana diatur pada Pasal 8, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan pada uraian tersebut, sebagai Direktur Eksekutif LBH Papua, Gobay menyimpulkan bahwa melalui tindakan pengembangan PSN Pangan di Merauke yang sudah, sedang dan akan menghancurkan tempat ‘berburuh dan meramu’ Masyarakat Adat Marind serta melihat fakta misi kehadiran 2 ribu Pasukan TNI yang bertugas untuk mengubah corak Masyarakat adat marid dari ‘Berburuh dan Meramu’ menjadi ‘Petani’.
Jelas akan mengarahkan Masyarakat Adat Marind pada posisi korban atas dugaan tindakan ‘setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama.
Dengan cara ‘mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, dan atau menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya’ sebagaimana diatur pada Pasal 8 huruf b dan huruf c, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Atas dasar itu, kami Lembaga Bantuan Hukum Papua selaku kuasa hukum Marga Kwipalo, Marga Gebze dan Marga Moiwend menegaskan.
Pertama, Presiden Republik Indonesia Segera Batalkan Proyek Strategis Nasional Pangan demi melindungi Masyarakat Adat Malind Dari Ancaman Konflik Horisontal dan Dugaan Pelanggaran HAM Berat Dalam Bentuk Kejahatan Genosida;
Kedua, Menteri Hak Asasi Manusia Republik Indonesia segera efaluasi dan cabut kebijakan Pelibatan TNI dalam Proyek Strategis Nasional di Papua yang bakal melahirkan Konflik Horisontal dan dugaan pelanggaran HAM Berat Dalam Bentuk Kejahatan Genosida Terhadap Masyarakat Adat Marind;
Ketiga, Ketua Komnas HAM RI dan Kepala Kantor Komnas HAM RI Perwakilan Papua segera bentuk tim investigasi dan langsung tinjau Lokasi Pengembangan Proyek Strategis nasional Pangan di Merauke Papua demi melindungi Masyarakat Adat Malind dari ancaman dugaan pelanggaran Kejahatan Genosida;
Keempat, Pejabat Sementara Gubernur Propinsi Papua Selatan wajib melindungi Masyarakat Adat Animha dari ancaman Dugaan Tindakan Kejahatan Genosida akibat Pengembangan proyek Stategis Nasional pangan di Merauke. [GRW]