JAYAPURA, SATUKANINDONESIA.Com – Berbagai elemen masyarakat yang ada di wilayah Provinsi Papau Barat terus bergerak memberi dukungan supaya peristiwa penembakan terhadap Yan Christian Warinussy,17 Juli 2024 yang lalu di Manokwari supaya tidak terulang kembali.
Setelah kelompok Advokat dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Papua Barat menyampaikan sikap dan pernyataannya, kali ini kecaman keras datang dari Mathius Murib yang mengklaim dirinya sebagai tokoh dan aktivis pejuang Hak Asasi Manusia untuk Warga Papua dengan menamakan dirinya sebagai “Direktur PAK HAM Papua”.
Baca juga: Kelompok Advokat dan PWI Papua Barat Terus Bergerak Desak dan Dukung Pengusutan Tuntas Penembakan Yan Christian Warinussy,17 Juli 2024.
Dalam pernyataan sikap Mathius Murib selaku “Direktur PAK HAM Papua”, yang diterima SatukanIndonesia.Com, Jumat, (19/7/2024), mengatakan bersamaan dengan persitiwa penembakan terhadap Yan Christian Warinussy,17 Juli 2024, ada juga Penembakan 3 orang Warga sipil di Mulia Puncak Jaya, Operasi aparat keamanan mengejar TPN_OPM terus berlanjut di Paniai, Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah. Nduga, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan.
“Menyebabkan begitu banyak orang meninggal, terpaksa mengungsi dan hidup penuh traumatis di kampung mereka sendiri,” kata Mathius Murib yang juga berprofesi sebagai Pendeta/Rohaniawan di Tanah Papua itu.
Menurutnya, ada beberapa contoh instumen hukum dalam rangka penagakan HAM Indonesia sehingga perlindungan dan penanganan terhadap peritiwa pelanggaran HAM dapat dituntaskan, utamanya yang selama ini terjadi di Tanah Papua.
Diantaranya, kata Pdt. Mathius Murib itu, Pancasila, TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis; UU Nomor. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan khusus di tanah Papua adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
“Instrumen Hukum tersebut menjadi dasar proteksi dan perlindungan bagi rakyat Indonesia di tanah Papua. Papua identik dengan konflik dan kekerasan makin berakar, korban masih mencari keadilan,” ujarnya.
Lebih lanjut Murib mengatakan, sistem hukum di Indonesia belum mampu memproses kasus-kasus Pelanggaran HAM berat sampai tuntas. Pasalnya, ia mengisahkan, adapun yang menjadi akar masalah HAM di tanah Papua karena alasan ekonomi dan Politik, sejak 1962-hingga tahun 2024, terus berkonflik dengan para pihak, ribuan korban tidak berdosa terus berjatuhan.
Dikatakannya, dengan kondisi yang masih karut -marutnya sosial ekonomi dan politik dan pemasalahan HAM di Tanah Papua, maka pekerjaan pembela HAM di tanah Papua, terus bekerja ditengah konflik dan kekerasan yang masih berlanjut sebagai dampak dari banyaknya kepentingan yang bertumpu di Bumi Papua yang kaya raya akan kekayaan alam tersebut.
“Banyak kepentingan di sana- sini, pembela Hak Asasi Manusia berdiri ditengah (netral) dan seringkali tidak disukai dan dicurigai oleh para pihak,” ungkap Murib.
Negara dan Pemerintah Indonesia harus bertanggungjawab memproteksi dan memberi perlindungan khusus kepada para pembela HAM dan warga sipil secara umum, mereka yang bekerja untuk keadilan secara individu dan lembaga, antara lain: para Pekerja medis, Guru/dosen, rohaniawan, jurnalis, NGO’s, Advokat dan Aktivis Mahasiswa yang bekerja untuk wujudkan keadilan dan perdamaian.
Direktur PAK HAM Papua itu mengaku sebagai Pembela HAM, pihaknya dan Warga sipil sudah biasa diteror, difitnah sampai ditembak, perlakuan demikian tidak sewajarnya dipertontonkan di ruang publik, karenanya haruslah dilawan.
“Kita harus menolak dan mengutuk perilaku kejam dan brutal,” katanya.
Diakhir pernyataannya, Murib menantang dan mempertanyakan kekejaman akan berakhir dan dihentikan di Papua, seraya meminta Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden sudah berulang kali berkunjung ke tanah
Papua, untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan di Bumi Papua.
“Sampai kapan kekejaman ini harus dihentikan? Sampai kapan situasi damai sejahterah diwujudkan?
Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden sudah berulang kali berkunjung ke tanah Papua, Ironisnya angka kekerasan makin meningkat dan rasa damai makin jauh,” kata Murib mengakhiri pernyataan kegelisahannya.
Dari sudut pandang yang dibangun Pdt. Mathius Murib sebagai Direktur PAK HAM Papua itu, belum mengetengahkan secara tuntas hakikat dan makna sebutan “Papua Kota Injil”. Bagi beberapa Tokoh Agama/Rohaniawan yang bertugas di bumi Papua, acapkali makna yang terkandung dalam “Papua Kota Injil” sangat kontra diksi dan bertolak belakang dengan praktik-praktik dan prilaku hidupa orang asli papua (OAP) dengan warga nusantara atau pendatang yang ada di Bumi Papua.
Seorang Pendeta yang pernah bertugas di Tanah Papua yang tidak mau disebut namanya, terlalu banyak warga nusantara (bukan Anggota TNI – Polri yang terbunuh oleh OAP dalam menjalankan tugas) yang mati dibunuh secara sia-sia oleh OAP dengan menggunakan golok, busur/panah, rumah dan tokonya dibakar hangus dan dijarah yang tidak mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat dan Daerah termasuk aktivis HAM.
Semoga saja Pdt. Mathius Murib sebagai Direktur PAK HAM Papua/Pejuang HAM itu, juga melakukan kerja-kerja HAM untuk semua suku, golongan dan kelompok di Tanah Papua. (Redaksi)