
Jakarta, satukanindonesia.com – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan berubah status menjadi Badan Pengaturan (BP) BUMN. Hal ini setelah Komisi VI DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk dibawa ke tingkat II dalam rapat paripurna mendatang.
Anggota Komisi VI DPR RI, Rivqy Abdul Halim, memberikan sejumlah catatan penting agar pemerintah tetap menempatkan pengelolaan BUMN sesuai dengan amanat konstitusi. Ia menegaskan, seluruh kebijakan BUMN harus berpijak pada Pasal 33 UUD 1945.
“Perumusan kebijakan, pengaturan, dan pengelolaan BUMN harus didasarkan pada Pasal 33 UUD 1945,” kata Rivqy kepada wartawan, dilansir dari JawaPos, Minggu (28/9).
Rivqy mengingatkan, Pasal 33 UUD 1945 menegaskan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara serta digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Prinsip kekeluargaan dan orientasi kesejahteraan rakyat tidak boleh hilang dalam setiap keputusan terkait BUMN,” tegasnya.
Menurut Rivqy, nomenklatur baru BP BUMN diharapkan mampu mengoptimalkan pengelolaan BUMN, sekaligus menghindari kerancuan kewenangan dengan Badan Pengelolaan Investasi (BPI) Danantara. Ia menilai, BP BUMN perlu memiliki otoritas menyetujui atau menolak rencana kerja serta usulan restrukturisasi yang diajukan BPI Danantara, termasuk merger, akuisisi, maupun pemisahan BUMN.
“Tentu sikap menyetujui atau menolak tersebut didasarkan pada indikator yang jelas serta bertujuan untuk optimalisasi kinerja perusahaan negara demi kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Selain perubahan nomenklatur, terdapat 10 poin pokok perubahan lain dalam revisi UU BUMN. Beberapa di antaranya mencakup mekanisme pengalihan kewenangan dari Kementerian BUMN ke BP BUMN, penguatan peran BP BUMN dalam mengoptimalkan kinerja BUMN, serta pengelolaan dividen seri A dwiwarna yang akan berada langsung di bawah BP BUMN dengan persetujuan Presiden.
Rivqy juga menegaskan pentingnya akuntabilitas dalam pengelolaan perusahaan negara. Menurutnya, keuntungan maupun kerugian tetap menjadi tanggung jawab BUMN masing-masing.
“Kami juga mendorong adanya pengaturan kewenangan BPK dalam memeriksa BUMN sesuai dengan ketentuan perundangan yang ada,” jelasnya.
Lebih lanjut, Rivqy menekankan catatan Fraksi PKB bukan hanya panduan pelaksanaan revisi UU BUMN, tetapi juga evaluasi terhadap problem lama yang masih membelit perusahaan negara.
“Selama ini BUMN sering dikritisi karena tidak profesional, bahkan dianggap menjadi sapi perah dan alat bagi-bagi kekuasaan. PKB ingin pengelolaan BUMN benar-benar diarahkan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan segelintir pihak,” pungkasnya.(***)