Jakarta, SatukanIndonesia.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai hak politik bukan merupakan hak asasi manusia yang absolut. Hak politik seseorang bisa dikurangi dalam kondisi tertentu, termasuk melarang eks koruptor yang ingin menjadi calon anggota legislatif (caleg).
Hal itu menyikapi polemik rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang larangan eks narapidana kasus korupsi untuk maju kembali menjadi calon legislatif pada pemilu 2019.
“Secara prinsip itu tidak dilarang mengurangi hak-hak politik seseorang. Karena hak politik itu bukan HAM absolut,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (06/06/2018).
Dia menjelaskan bahwa HAM diklasifikasikan menjadi dua yaitu HAM yang dapat dikurangi dan HAM yang tidak dapat dikurangi. Contoh yang tidak dapat dikurangi adalah hukuman mati dan perbudakan.
Menurut Taufan, hak politik merupakan salah satu yang dapat dikurangi dan itu dibenarkan dalam prinsip HAM. Namun, lanjutnya, untuk mengurangi hak politik dibutuhkan suatu keputusan dalam arti undang-undang atau proses peradilan.
“Nah, sekarang tinggal bagaimana KPU dengan pihak pemerintah dan DPR menyepakati aturan tentang pengurangan hak dipilih dari eks napi korupsi atau yang lain,” ujarnya.
Dengan demikian, kata Taufan, rancangan PKPU itu tidak dapat disebut melanggar HAM selama KPU dapat membuktikan bahwa aturan itu dalam rangka kepentingan umum dan lebih besar.
“Misalnya menjamin kualitas dan integritas dari orang yang dipilih. Kedua, mekanisme melarangnya. Itu yang harusnya disepakati. Jadi saran kami semestinya KPU melakukan komunikasi yang lebih intensif dengan pemerintah dan DPR supaya ada kesepakatan itu,” ujarnya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sebelumnya mengisyaratkan bakal menolak menandatangani draf rancangan PKPU soal larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg karena dianggap bertentangan dengan UU.
“Jadi nanti jangan dipaksa saya menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan UU itu saja,” kata Yasonna. Ia menegaskan PKPU itu akan bertentangan dengan UU Pemilu. (*)